Kadung Janji?
Oleh: RD. Diyanto
“Romo, mengapa
orang menikah harus mengucapkan janji Perkawinan? Amat berat Romo!” Kata
seorang ibu, ibu Lia namanya. Ia menggugat janji perkawinan kepada saya usai
pemberkatan perkawinan di salah satu stasi.
Sebagai imam
yang belum lama ditahbiskan dan baru meniup satu lilin Ulang Tahun Tahbisan
imamat, pertanyaan Ibu Lia ini amat mendalam serentak mengusik permenunganku saat
aku pulang ke pastoran. Sembari duduk nyruput
secangkir teh manis dan menikmati merdunya kicauan burung Murai batu Kota Agung
dan kacer serta indahnya bunyi perkutut Bangkok dan lokal di pastoran,
kurenungkan gugatan ibu Lia ini. Mengapa hal ini menarik permenunganku? Setahuku,
ibu Lia sudah melewati pesta perak perkawinan, tetapi mengapa masih ada gugatan
dalam menghidupi Janji Perkawinan? Ada apa dengan cinta?
Mengenal calon Pasangan
Laki-laki dan
perempuan lazimnya melewati tahap pacaran sebelum memutuskan untuk menikah.
Kata orang, pacaran itu saat-saat yang paling indah dalam kehidupan. Inilah
saat dimana laki-laki dan perempuan sedang dimabuk cinta. Jatuh Cinta berjuta
rasanya, kata syair sebuah lagu. Inilah masa pacaran. Semua serba
sayang-sayangan, mesra-mesraan sehingga muncul lagu KEMESRAAN, seakan dunia
milik berdua dan yang lain cuma ngontrak pada orang yang lagi jatuh cinta. Pembicaraan
sepasang kekasih melulu yang indah-indah, yang baik-baik tak ada cacat cela
terungkap. Sambil bergandengan tangan, menginjak tai kerbau pun dianggap hanya
lumpur biasa. Oh, sungguh cinta mampu mengubah segalanya, kata orang yang
sedang jatuh cinta. Memang saat pacaran orang tak mudah mengungkap borok-borok
dan kelemahan dalam dirinya, semua serba ditutup-tutupi karena ingin terlihat
baik, mungkin agar tidak diputus oleh sang pacar sehingga tak perlu repot-repot
bernyanyi “ dunia belum berakhir…bila kauputuskan aku…”. Pacaran bisa putus di
tengah jalan lalu ganti dan ganti pacar lagi. Apa ini sah? Amat sah asal bukan
sebagai play boy atau play girl, tetapi sungguh berniat hendak
mencari tulang rusuk yang menurutnya tepat untuk menjadi pendamping hidupnya.
Bukan habis manis sepah dibuang sebagai prinsip pacaran, ini naïf namanya.
Masa pacaran tak
mengenal batas, ada yang setahun, dua tahun, lima tahun, sepuluh tahun dan seterusnya.
Bahkan ada yang amat pendek hanya ukuran bulan bahkan hari, lalu karena sudah
yakin si laki-laki dengan malu-malu atau mungkin juga menggebu-gebu minta
ayah-ibunya untuk segera melamar kekasih pujaan hatinya. Dan akhirnya mereka
masuk dalam jenjang pertunangan. Mengapa mesti ada tunangan? Masa tunangan
menjadi waktu berahmat bagi sepasang
kekasih untuk saling mengenal lebih dekat kepribadian kekasihnya. Harusnya
keduanya sudah berani mengungkapkan siapa dirinya menyangkut kelebihan dan
kelemahannya. Bahkan parut-parut emosional atau kabut sutera ungu (luka-luka
batin) yang pernah mendera hidupnyapun boleh dibuka bersama. Di sinilah letak
beda antara pacaran dan tunangan. Kalau dalam pacaran masih berimajinasi, ”
Kesan pertama begitu menggoda, selanjutnya? Terserah Anda!”. Namun saat
bertunangan bisa menjadi ” Kesan pertama begitu menggoda, selanjutnya saling
menggoda”. Saling menggoda karena sudah mulai mengenal lebih dalam, tak mudah
tersinggung karena semakin tahu pribadi tunangannya. Inilah saat yang
menentukan mereka apakah mau melanjutkan ke jenjang perkawinan atau tidak.
Apakah ikatan pada masa pertunangan masih bisa diputuskan seperti pacaran?
Boleh dan sah-sah juga. Ikatan dalam pertunangan sama dengan ikatan dalam
pacaran, sama-sama yang mengikat adalah manusia. Karena yang mengikat adalah
manusia, maka ikatan itu bisa dan boleh diputus oleh yang mengikatnya, yakni
manusia. Dalam pacaran yang mengikat adalah kedua sejoli, sedangkan dalam
pertunangan, selain kedua sejoli, kedua keluarga dua sejoli juga ikut diikat,
artinya ada ikatan kedua keluarga. Namun, ini juga ikatan manusia yang masih
bisa diputuskan baik oleh kedua sejoli maupun atas desakan kedua keluarga
bersangkutan.
Apabila kedua
sejoli sepakat untuk melanjutkan ke jenjang perkawinan, maka merekapun akan
memasuki babak baru yang berbeda dari tingkatan pacaran maupun tunangan. Kalau
dalam pacaran dan tunangan yang mengikat adalah manusia, dan manusia boleh serta
punya hak untuk memutuskannya, tidaklah demikian dalam perkawinan yang dalam
Gereja diangkat sebagai Sakramen (tanda dan sarana keselamatan Allah). Ketika
kedua mempelai sepakat SALING mengucapkan JANJI PERKAWINAN, maka ucapan mereka
tidak bisa ditarik kembali. Pada saat mereka mengucapkan janji perkawinan itu,
serentak ALLAH telah mengikat mereka. Inilah perkawinan, bukan lagi manusia
yang mengikat melainkan Allah yang mengikat. Karena yang mengikat adalah Allah,
maka yang berhak meutuskannya juga Allah, salah satunya lewat kematian.
Menghidupi Janji Perkawinan
Saya, Fransiskus
Adi Setya Putra, memilih engkau Gratia Dian Amalia menjadi istri saya. Saya
berjanji untuk setia mengabdikan diri
kepadamu dalam untung dan malang,
diwaktu sehat dan sakit. Saya mau mengasihi
dan menghormati engkau sepanjang
hidup saya. Saya, Gratia Dian Amalia, memilih engkau
Fransiskus Adi Setya Putra menjadi suami saya. Saya berjanji untuk setia mengabdikan diri kepadamu dalam untung dan malang, diwaktu sehat dan sakit.
Saya mau mengasihi dan menghormati engkau sepanjang hidup
saya.
Bukankah janji
perkawinan itu diucapkan masing-masing? Artinya masing-masing berjanji di
hadapan para saksi dan terutama di hadapan Allah? Bukan hanya suami saja yang
berjanji, atau bukan hanya istri saja yang berjanji. Maka tugas dan panggilan
suami istri adalah menghayati dan menghidupi janji perkawinan. Janji perkawinan
bukan hanya diucapkan di bibir saja agar menyentuh perasaan tetapi mengandung
konsekuensi bersama antara suami-istri.
Anganku kembali
pada Ibu Lia dan gugatannya pada Janji Perkawinan. Ibu Lia dikenal oleh ibu-ibu
yang lain sebagai seorang istri yang setia, saleh, rajin berdoa, amat mengasihi
anak-anaknya dan sabar terhadap suaminya. Tak sedikit ibu rumah tangga yang
bermasalah dengan suaminya dalam keluarga curhat padanya minta solusi, atau
sekedar mencurahkan isi hatinya. Ibu Lia juga dikenal sebagai seorang yang giat
dalam pelayanan doa dan pelayanan kepada orang sakit serta amat peduli terhadap
kaum selibat. Tetapi mengapa ibu Lia menggugat janji perkawinan padahal Ibu Lia
sudah melampaui pesta perak perkawinannya?
Pernah Ibu Lia
berkisah tentang suaminya kepada kelompok ibu-ibu, bahwa suaminya memperlakukan
dirinya seakan sebagai orang lain dalam rumahnya sendiri. Tak jarang terucap
dari mulut suaminya yang mengusir dirinya. Tak ada kata menyejukkan dari mulut suaminya.
Suaminya amat kasar, pemarah, kurang sabar, cuek, sekali bicara kata-katanya
seperti silet yang menyayat hati. Namun kebutuhan biologisnya sebagai suami tak
dapat ditolak dan ditunda manakala ia menginginkannya. Suami Ibu Lia bukanlah
orang miskin, ia orang kaya. Namun suaminya mengumpulkan kekayaan untuk dirinya
sendiri dan sang istri dibiarkan mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari. Hal ini sudah berlangsung selama 10 tahun hidup perkawinannya
hingga sekarang. Hebatnya, Ibu Lia masih bisa membantu anak-anak kurang mampu
agar bisa mengenyam pendidikan dan memperhatikan orang-orang yang kurang mampu
dari uang hasil keringatnya sendiri.
Mengapa kemelut
hidup rumah tangga Ibu Lia bisa terjadi? Adakah yang belum beres saat pacaran
maupun tunangan? Apakah sang suami amat tertutup saat pacaran dan tunangan?
Hingga saat perkawinan ia menampakkah karakter yang selama pacaran dan tunangan
tak pernah muncul? Dalam usia perkawinan yang sudah melampaui pesta perak, mestinya
komunikasi dan sapaan penuh kebersamaan dalam keluarga tetap menjadi pegangan
demi keutuhan perkawinan. Mestinya
keluarga menjadi pelabuhan dan tempat berteduh yang paling aman. Henry Ford, si
raja mobil sukses dan termasyur seantero jagat itu berujar demikian“ Coming togetheris beginning, keeping
together is progress, working togheter is success” (Jumpa dalam kebersamaan
adalah awal, tetap bersama adalah kemajuan, dan bekerjasama adalah sukses).
Mengapa Ibu Lia
masih kuat menghadapi kemelut keluarga akibat ulah suaminya? Apakah karena Ibu
Lia merasa Kadung Janji (terlanjur
janji) dalam sakramen Perkawinan? Rasanya
bukan karena merasa kadung Janji
namun karena komitmen kuat Ibu Lia untuk mempertahankan kesucian Sakramen
Perkawinannya, meski suaminya amat tidak menghargai makna Sakramen Perkawinan. Iman dan kiprah hidup beriman Ibu Lia
itulah yang menjadi pilar kokoh penopang kuat erat Janji Perkawinannya. Ibu Lia
hanya bersandar pada Tuhan. Tuhan menjadi benteng pertahanan yang kuat bagi
dirinya. Berharap pada manusia akan kecewa, tetapi berharap pada Tuhan akan
bahagia, prinsip Ibu Lia.
Amat menyedihkan,
apabila janji perkawinan hanya dihidupi oleh salah satu pasangan saja. Padahal
keduanya sudah berjanji untuk setia mengabdikan diri dalam untung dan malang,
di waktu sehat dan sakit, mengasihi dan menghormati sepanjang hidup. Merenungkan
ungkapan Santo Josemaria Escriva Balguer” Perkawinan yang baik itu ibarat pokok
anggur yang baik, semakin lama semakin matang dan semakin bermutu. Banjir
kecemasan dan kesulitan tidak mampu menghanyutkan cinta sejati sebab orang yang
mengurbankan dirinya dengan murah hati semakin lama akan semakin dipererat…”.
Jadilah seperti Ibu Lia yang tegar tatkala hidup rumah tangga Anda dihempas
kemelut karena suami yang kurang memahami keagungan perkawinan seperti
pengalaman Ibu Lia.