Selasa, 11 November 2014

Janji Perkawinan Katholik



Kadung Janji?
Oleh: RD. Diyanto




“Romo, mengapa orang menikah harus mengucapkan janji Perkawinan? Amat berat Romo!” Kata seorang ibu, ibu Lia namanya. Ia menggugat janji perkawinan kepada saya usai pemberkatan perkawinan di salah satu stasi.
Sebagai imam yang belum lama ditahbiskan dan baru meniup satu lilin Ulang Tahun Tahbisan imamat, pertanyaan Ibu Lia ini amat mendalam serentak mengusik permenunganku saat aku pulang ke pastoran. Sembari duduk nyruput secangkir teh manis dan menikmati merdunya kicauan burung Murai batu Kota Agung dan kacer serta indahnya bunyi perkutut Bangkok dan lokal di pastoran, kurenungkan gugatan ibu Lia ini. Mengapa hal ini menarik permenunganku? Setahuku, ibu Lia sudah melewati pesta perak perkawinan, tetapi mengapa masih ada gugatan dalam menghidupi Janji Perkawinan? Ada apa dengan cinta?

Mengenal calon Pasangan
Laki-laki dan perempuan lazimnya melewati tahap pacaran sebelum memutuskan untuk menikah. Kata orang, pacaran itu saat-saat yang paling indah dalam kehidupan. Inilah saat dimana laki-laki dan perempuan sedang dimabuk cinta. Jatuh Cinta berjuta rasanya, kata syair sebuah lagu. Inilah masa pacaran. Semua serba sayang-sayangan, mesra-mesraan sehingga muncul lagu KEMESRAAN, seakan dunia milik berdua dan yang lain cuma ngontrak pada orang yang lagi jatuh cinta. Pembicaraan sepasang kekasih melulu yang indah-indah, yang baik-baik tak ada cacat cela terungkap. Sambil bergandengan tangan, menginjak tai kerbau pun dianggap hanya lumpur biasa. Oh, sungguh cinta mampu mengubah segalanya, kata orang yang sedang jatuh cinta. Memang saat pacaran orang tak mudah mengungkap borok-borok dan kelemahan dalam dirinya, semua serba ditutup-tutupi karena ingin terlihat baik, mungkin agar tidak diputus oleh sang pacar sehingga tak perlu repot-repot bernyanyi “ dunia belum berakhir…bila kauputuskan aku…”. Pacaran bisa putus di tengah jalan lalu ganti dan ganti pacar lagi. Apa ini sah? Amat sah asal bukan sebagai play boy atau play girl, tetapi sungguh berniat hendak mencari tulang rusuk yang menurutnya tepat untuk menjadi pendamping hidupnya. Bukan habis manis sepah dibuang sebagai prinsip pacaran, ini naïf namanya.
Masa pacaran tak mengenal batas, ada yang setahun, dua tahun, lima tahun, sepuluh tahun dan seterusnya. Bahkan ada yang amat pendek hanya ukuran bulan bahkan hari, lalu karena sudah yakin si laki-laki dengan malu-malu atau mungkin juga menggebu-gebu minta ayah-ibunya untuk segera melamar kekasih pujaan hatinya. Dan akhirnya mereka masuk dalam jenjang pertunangan. Mengapa mesti ada tunangan? Masa tunangan menjadi waktu  berahmat bagi sepasang kekasih untuk saling mengenal lebih dekat kepribadian kekasihnya. Harusnya keduanya sudah berani mengungkapkan siapa dirinya menyangkut kelebihan dan kelemahannya. Bahkan parut-parut emosional atau kabut sutera ungu (luka-luka batin) yang pernah mendera hidupnyapun boleh dibuka bersama. Di sinilah letak beda antara pacaran dan tunangan. Kalau dalam pacaran masih berimajinasi, ” Kesan pertama begitu menggoda, selanjutnya? Terserah Anda!”. Namun saat bertunangan bisa menjadi ” Kesan pertama begitu menggoda, selanjutnya saling menggoda”. Saling menggoda karena sudah mulai mengenal lebih dalam, tak mudah tersinggung karena semakin tahu pribadi tunangannya. Inilah saat yang menentukan mereka apakah mau melanjutkan ke jenjang perkawinan atau tidak. Apakah ikatan pada masa pertunangan masih bisa diputuskan seperti pacaran? Boleh dan sah-sah juga. Ikatan dalam pertunangan sama dengan ikatan dalam pacaran, sama-sama yang mengikat adalah manusia. Karena yang mengikat adalah manusia, maka ikatan itu bisa dan boleh diputus oleh yang mengikatnya, yakni manusia. Dalam pacaran yang mengikat adalah kedua sejoli, sedangkan dalam pertunangan, selain kedua sejoli, kedua keluarga dua sejoli juga ikut diikat, artinya ada ikatan kedua keluarga. Namun, ini juga ikatan manusia yang masih bisa diputuskan baik oleh kedua sejoli maupun atas desakan kedua keluarga bersangkutan.
Apabila kedua sejoli sepakat untuk melanjutkan ke jenjang perkawinan, maka merekapun akan memasuki babak baru yang berbeda dari tingkatan pacaran maupun tunangan. Kalau dalam pacaran dan tunangan yang mengikat adalah manusia, dan manusia boleh serta punya hak untuk memutuskannya, tidaklah demikian dalam perkawinan yang dalam Gereja diangkat sebagai Sakramen (tanda dan sarana keselamatan Allah). Ketika kedua mempelai sepakat SALING mengucapkan JANJI PERKAWINAN, maka ucapan mereka tidak bisa ditarik kembali. Pada saat mereka mengucapkan janji perkawinan itu, serentak ALLAH telah mengikat mereka. Inilah perkawinan, bukan lagi manusia yang mengikat melainkan Allah yang mengikat. Karena yang mengikat adalah Allah, maka yang berhak meutuskannya juga Allah, salah satunya lewat kematian.

Menghidupi Janji Perkawinan
Saya, Fransiskus Adi Setya Putra, memilih engkau Gratia Dian Amalia menjadi istri saya. Saya berjanji untuk setia mengabdikan diri kepadamu dalam untung dan malang, diwaktu sehat dan sakit. Saya mau mengasihi dan menghormati engkau sepanjang hidup saya.   Saya, Gratia Dian Amalia, memilih engkau Fransiskus Adi Setya Putra menjadi suami saya. Saya berjanji untuk setia mengabdikan diri kepadamu dalam untung dan malang, diwaktu sehat dan sakit. Saya mau mengasihi dan menghormati engkau sepanjang hidup saya. 
Bukankah janji perkawinan itu diucapkan masing-masing? Artinya masing-masing berjanji di hadapan para saksi dan terutama di hadapan Allah? Bukan hanya suami saja yang berjanji, atau bukan hanya istri saja yang berjanji. Maka tugas dan panggilan suami istri adalah menghayati dan menghidupi janji perkawinan. Janji perkawinan bukan hanya diucapkan di bibir saja agar menyentuh perasaan tetapi mengandung konsekuensi bersama antara suami-istri.
Anganku kembali pada Ibu Lia dan gugatannya pada Janji Perkawinan. Ibu Lia dikenal oleh ibu-ibu yang lain sebagai seorang istri yang setia, saleh, rajin berdoa, amat mengasihi anak-anaknya dan sabar terhadap suaminya. Tak sedikit ibu rumah tangga yang bermasalah dengan suaminya dalam keluarga curhat padanya minta solusi, atau sekedar mencurahkan isi hatinya. Ibu Lia juga dikenal sebagai seorang yang giat dalam pelayanan doa dan pelayanan kepada orang sakit serta amat peduli terhadap kaum selibat. Tetapi mengapa ibu Lia menggugat janji perkawinan padahal Ibu Lia sudah melampaui pesta perak perkawinannya?
Pernah Ibu Lia berkisah tentang suaminya kepada kelompok ibu-ibu, bahwa suaminya memperlakukan dirinya seakan sebagai orang lain dalam rumahnya sendiri. Tak jarang terucap dari mulut suaminya yang mengusir dirinya.  Tak ada kata menyejukkan dari mulut suaminya. Suaminya amat kasar, pemarah, kurang sabar, cuek, sekali bicara kata-katanya seperti silet yang menyayat hati. Namun kebutuhan biologisnya sebagai suami tak dapat ditolak dan ditunda manakala ia menginginkannya. Suami Ibu Lia bukanlah orang miskin, ia orang kaya. Namun suaminya mengumpulkan kekayaan untuk dirinya sendiri dan sang istri dibiarkan mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Hal ini sudah berlangsung selama 10 tahun hidup perkawinannya hingga sekarang. Hebatnya, Ibu Lia masih bisa membantu anak-anak kurang mampu agar bisa mengenyam pendidikan dan memperhatikan orang-orang yang kurang mampu dari uang hasil keringatnya sendiri.
Mengapa kemelut hidup rumah tangga Ibu Lia bisa terjadi? Adakah yang belum beres saat pacaran maupun tunangan? Apakah sang suami amat tertutup saat pacaran dan tunangan? Hingga saat perkawinan ia menampakkah karakter yang selama pacaran dan tunangan tak pernah muncul? Dalam usia perkawinan yang sudah melampaui pesta perak, mestinya komunikasi dan sapaan penuh kebersamaan dalam keluarga tetap menjadi pegangan demi keutuhan perkawinan.  Mestinya keluarga menjadi pelabuhan dan tempat berteduh yang paling aman. Henry Ford, si raja mobil sukses dan termasyur seantero jagat itu berujar demikian“ Coming togetheris beginning, keeping together is progress, working togheter is success” (Jumpa dalam kebersamaan adalah awal, tetap bersama adalah kemajuan, dan bekerjasama adalah sukses).
Mengapa Ibu Lia masih kuat menghadapi kemelut keluarga akibat ulah suaminya? Apakah karena Ibu Lia merasa Kadung Janji (terlanjur janji) dalam sakramen Perkawinan? Rasanya bukan karena merasa kadung Janji namun karena komitmen kuat Ibu Lia untuk mempertahankan kesucian Sakramen Perkawinannya, meski suaminya amat tidak menghargai makna Sakramen Perkawinan. Iman dan kiprah hidup beriman Ibu Lia itulah yang menjadi pilar kokoh penopang kuat erat Janji Perkawinannya. Ibu Lia hanya bersandar pada Tuhan. Tuhan menjadi benteng pertahanan yang kuat bagi dirinya. Berharap pada manusia akan kecewa, tetapi berharap pada Tuhan akan bahagia, prinsip Ibu Lia.
Amat menyedihkan, apabila janji perkawinan hanya dihidupi oleh salah satu pasangan saja. Padahal keduanya sudah berjanji untuk setia mengabdikan diri dalam untung dan malang, di waktu sehat dan sakit, mengasihi dan menghormati sepanjang hidup. Merenungkan ungkapan Santo Josemaria Escriva Balguer” Perkawinan yang baik itu ibarat pokok anggur yang baik, semakin lama semakin matang dan semakin bermutu. Banjir kecemasan dan kesulitan tidak mampu menghanyutkan cinta sejati sebab orang yang mengurbankan dirinya dengan murah hati semakin lama akan semakin dipererat…”. Jadilah seperti Ibu Lia yang tegar tatkala hidup rumah tangga Anda dihempas kemelut karena suami yang kurang memahami keagungan perkawinan seperti pengalaman Ibu Lia.


Spiritualitas Pelayanan


PELAYANAN:
Menggapai Kasih Tuhan dan Sesama
RD. Diyanto


Pengantar
“ Anak manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani “Mat 20: 28). Demikian Sabda Yesus menanggapi ambisi para murid untuk menjadi yang terbesar. Yesus menunjukkan jalan kebalikannya, ialah jalan pelayanan.
Orang bijak mengatakan:“Selama orang masih bisa melayani, hidup tidak mungkin tanpa arti; dan ilmuwan  yang terkenal dengan rumus relativitas, Albert Einstein menambahkan, …”Apabila pelayanan itu dihayati bagi yang lain, hidup ini lestari dan bernilai”        

Bagaimana Yesus Melayani?
Ada 2 arah pelayanan Yesus: Vertikal dan Horizontal.  Vertikal terarah kepada Allah, Bapanya;  Horizontal terarah bagi manusia. Masing-masing arah pelayanan mempunyai makna dan karakteristiknya sendiri, namun keduanya saling melengkapi dan bertemu dalam kesempurnaannya pada SALIB.

Pelayanan Vertikal
                “Makananku adalah melakukan kehendak Dia, yang mengutus Aku, dan menyelesaikan pekerjaan-Nya”(Yoh 4: 34).  Demi melaksanakan kehendak BapaNya inilah, Yesus dilahirkan di Betlehem, hidup di Nazaret, mewartakan Injil di palestina, dan akhirnya menderita, wafat di Golgota. Demi melaksanakan kehendak BapaNya pula, Ia bangkit dari mati, naik ke sorga dan duduk di sisi kanan Allah menjadi pengantara kita. Semua itu merupakan pelayanan yang Ia terima dengan rela, Ia melaksanakan dengan tekun, demi cinta kepada BapaNya. Dan semua pelayanan tersebut tersimpul dalam satu kata ‘Mission” atau “Perutusan”, dengan sikap dasar “Ketaatan”

Pelayanan Horizontal
                Penebusan Yesus merupakan pelayananNya bagi manusia yang terjerumus dalam lumpur dosa yang mematikan.  Untuk mengangkat kita dari lumpur dosa itu, Ia tidak hanya mengulurkan tanganNya dari sorga tetapi Ia terjun ke dalam lumpur dan tinggal diantara kita serta menyertai kita yang malang ini (mat 1: 23). Ia mengosongkan diri, mengambil rupa hamba dan taat sampai mati di salib” (Fil 2: 6-8). Dia menjadi korban sebagai “Anak domba yang menghapus dosa dunia” (Yoh 1: 29)
                Semua yang Ia lakukan bagi manusia tersimpulkan dalam satu kata “Compassion” atau “ Belas kasihan”. Com-passsion berarti  ikut menderita. Dalam belaskasihan Yesus itu ada solidaritas/kesetiakawanan, ada hati yang terbuka dan rela hadir sebagai sesama, ambil bagian dalam kekecewaan, kebingungan dan ketidakberdayaan kita.

Ajaran Yesus tentang Pelayanan
                Mengenai pelayanan, ajaran Yesus dapat kita tangkap dari gaya pelayananNya sendiri, dan dari beberapa perumpamaan serta sabda. Dalam pelayanan, nilai-nilai yang ditekankan ada 3, yakni: kerendahan hati, belaskasihan, dan keterbukaan hati.
A.      Pelayanan yang Rendah Hati
Sebelum Yesus menyampaikan ajaranNYa tentang pelayananNya yang rendah hati, terlebih dahulu Yesus memberikan teladan , mencuci kaki para muridNya.. “ Jikalau Aku membasuh kakimu, Aku yang adalah Tuhan dan Gurumu, maka kamupun wajib saling membasuh kakimu” (Yoh 13: 14). Dalam pelayanan, kerendahan hati adalah kualitas hati atau nilai yang amat berharga, dengan alasan:
1). Ini mengandung rasa hormat yang dilayani, sehingga pelayanan peka dan peduli terhadap kebutuhan orang yang dilayani.
2). Ini membuka  hati pelayan terhadap Roh Kudus, yang berkenan tinggal di hati orang yang rendah hati, dan member semangat dalam pelayanannya.
3). Ini mengangkat si pelayan menjadi orang yang berbudi luhur dan terhormat. Kebesaran dan kehormatan seseorang bukan diukur dari banyaknya hamba yang melayani dia, melainkan dengan ketulusan pelayanan yang ia berikan kepada orang lain.
B.      Pelayanan yang Penuh Belaskasihan
“Tergerak oleh belaskasihan” adalah ungkapan yang muncul 12 kali dalam Injil, dan ini menunjukkan sikap dasar Yesus dalam pelayananNya. Yesus menggandakan roti bagi 4000 orang, Yesus menyembuhkan orang yang sakit kusta (Mrk 1: 41), dsb.
Dalam perumpamaan orang Samaria yang murah hati (Luk 10: 25-37) Yesus mengangkat belaskasihan sebagai motivasi dasar pelayanan yang mengharukan itu. Berangkat dari “tergerak hatNya oleh belaskasihan’ (ayat 33) orang Samaria itu melakukan pelayanan bagi si korban perampokan dengan 3 kualitas batin/nilai sbb:
1). Dengan Kebebasan Batin. Ia tidak terikat peraturan najis (kontras dengan imam dan Lewi), demi cinta kasih. Ia tidak  terhambat oleh naluri primordialistis, kendati ia seorang Samaria, tetapi tetap menolong orang Yahudi . 2). Dengan kerelaan Berkorban. Ia tidak menghitung waktu, energy dan hanya dalam pelayanannya bagi korban perampokan itu. Kebutuhan korban itu yang diutamakan. 3). Dengan Tulus dan Bersungguh-sungguh. Ia menolong secara total, tidak setengah-setengah dengan 7 langkah: pergi kepadanya, membasuh luka-lukanya dengan dengan minyak dan anggur, membalut luka-lukanya, menaikkan ke atas keledai tunggangannya, membawa ke penginapan, merawatnya, dan membayar biaya yang dibutuhkan. Pelayanan yang tulus dan total menjadi teman lebih dekat dan lawan jadi teman.
               
C.      Pelayanan yang Ditandai dengan keterbukaan Hati
Peristiwa sungguhan, dan bukan seperti perumpamaan tentang Orang Samaria yang baik hati yakni kisah Marta dan Maria, keduanya bersaudara berasal dari Betania, juga menyajikan ajaran tentang pelayanan (Luk 10: 38-42). Sambutan kedua bersaudara terhadap Yesus dan para muridnya yang datang ke kampong mereka amat berbeda tetapi ternyata saling melengkapi.
 1). Marta Sibuk sekali melayani.
 Bagi Marta, Yesus adalah tamu yang ia hormati dan sahabat yang ia cintai. Maka ia berusaha menjamu Yesus sebaik-baiknya, ditambah lagi Yesus datang bersama rombongan para muridNya, pastilah Marta amat sibuk dan repot.
Pelayanan Marta ini berupa kegiatan yang disebut “Service in the Kingdom”” (pelayanan di dalam Kerajaan Allah)”. Perwujudan pelayanan seperti ini antara lain: aneka kegiatan karya di bidang pendidikan, kesehatan, pastoral, dan sosial. Pelayanan demikian dapat menyedot banyak waktu, pemikiran, energi, dan bakat seseorang.
Pelayanan jenis ini butuh kewaspadaan, karena memang rawan gangguan dan godaan, dengan alasan sbb: a). orang dapat begitu asyik melibatkan diri dalam pelayanannya sehingga mengira bahwa karyanya lebih penting dari yang lain. Itulah pengalaman Marta sehingga berani menegur Yesus dan Maria (ayt 40). Yesus mengoreksi Marta dengan halus namun telak! “Marta, Marta, engkau kuatir dan menyusahkan diri dengan banyak perkara, tetapi hanya satu saja yang perlu; Maria telah memilih bagian yang terbaik, yang tidak akan diambil dari padanya.(Luk. 10:40-42).  b). Orang dapat memanipulasi pelayanannya, yang memang dibutuhkan oleh masyarakat, demi keuntungan sendiri. Orang mengenal komersialisasi pelayanan. C). Orang bisa begitu mabuk kerja “workalcoholic”, sehingga mengesampingkan waktu senggang. Padahal waktu senggang itu perlu untuk membangun relasi, doa, dan memulihkan kebugaran, kesehatan.
2). Maria Terus Mendengarkan Yesus
Bagi Maria, Yesus adalah Sang Sabda dan Sang Guru yang ia sembah dan junjung tinggi. Maka Maria duduk dekat kaki Yesus dan terus mendengarkan perkataanNya. Pelayanan Maria ini kadang disebut “Service to the King” (pelayanan bagi sang Raja). Konkrit pelayanan ini antara lain: Merayakan Ekaristi, bermeditasi (membaca dan merenungkan Kitab Suci), serta kegiatan rohani lainnya misalnya retret dan rekoleksi.  Kegiatan rohani seperti ini mengarahkan hati dan memurnikan perhatian pada Tuhan serta menjadi saluran rahmat kesegaran dalam rutinitas dan ketabahan menghadapi kesulitan hidup. Tetap perlu diwaspadai, jangan sampai pelayanan ini menjadi rutinitas/formalitas yang hambar dan membosankan serasa tak berjiwa lagi.

Dua Pelayanan yang Saling Melengkapi
         Dilihat dari ceritanya, orang Samaria yang baik hati dan Marta, tentunya akan dipuji karena pelayanannya yang praktis pada Yesus. Nyatanya tindakannya tidaklah dipuji maupun diremehkan, tetapi ia ditantang untuk meninjau prioritasnya. Seluruh Injil tidak hanya berisi mengenai pelayanan kasih terhadap orang lain, tidak peduli  bagaimanapun pentingnya. Pemuridan Kristen pertama-tama dan terutama adalah keterikatan pribadi dengan Yesus. Harus ada waktu untuk mendengarkan “SabdaNya”. Bakti kepada Yesus adalah satu-satunya yang dituntut”. Hubungan ini memperlihatkan diri dalam pelayanan kasih, tetapi tanpa doa, perhatian kebutuhan orang lain dapat bukan kasih.
                Perumpamaan orang Samaria yang baik hati dan cerita mengenai Marta dan Maria dimaksudkan untuk memberi ilustrasi perintah ganda (Luk 10: 27) dalam urutan tindakan terbalik; tindakan orang Samaria menekankan kasih kepada sesama, tindakan Maria menekankan kasih kepada Tuhan.
Pelayanan Marta dan maria memang berbeda, namun saling melengkapi. Maka tidak perlu dipertentangkan. Keduanya mempunyai kekhasan keutamaan masing-masing, tentu saja  dengan segala yang perlu diwaspadai. 

Organisasi Masyarakat         
Organisasi Masyarakat (ORMAS) hanya bisa menggunakan nama Katolik, apabila telah mendapat persetujuan dari otoritas Gereja. Hal ini tertera pada kanon 298-329, Kitab Hukum Kanonik (KHK). Dengan tegas kanon 300 menyatakan’ tak satu pun perserikatan boleh memakai nama Katolik tanpa persetujuan otoritas Gerejawi yang berwenang, menurut norma kanon 312‘.
Dalam kanon 312 disebutkan § 1 : Otoritas yang berwenang untuk mendirikan perserikatan-perserikatan publik ialah:
1. Tahta suci untuk mendirikan perserikatan-perserikatan universal dan internasional.
2. Konferensi para uskup di wilayah masing-masing, untuk perserikatan-perserikatan nasional, yakni yang didasarkan pendirinya diperuntukkan bagi kegiatan yang meliputi seluruh negara.
3. Uskup Diosesan, tetapi yang bukan administrator Diosesan, di wilayah masing-masing untuk perserikatan-perserikatan yang pendiriannyamenurut previlese apostolic direservasi bagi yang lain.
§ 2. Kanon 312 mengungkapkan bahwa untuk mendirikan dengan sah perserikatan atau seksi perserikatan di keuskupan, meskipun berdasarkan privilese apostolik, dituntut persetujuan tertulis Uskup Diosesan; tetapi persetujuan yang diberikan untuk mendirikan rumah tarekat religious berlaku juga untuk mendirikan perserikatan yang khas untuk tarekat itu di rumah itu atau di gerejanya.
Keberadaan Ormas Katolik di Indonesia tidak hanya patuh pada Hukum Kanonik, melainkan juga kepada Undang-undang no 85 tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Undang-undang ini memang sudah kadaluarsa, namun terpaksa masih digunakan. UU revisinya, meskipun sudah disusun sejak 2008, sampai sekarang masih berupa draft RUU.
Dengan perysaratan demikian, hanya ada 4 lembaga yang secara hirarkis diakui keberadaannya di tingkat nasional. Yang paling tua adalah Wanita Katolik Republik Indonesia (WKRI). Lahir di Jakarta 1924, dan ikut serta menjadi pendiri Kongres Wanita Indonesia (Kowani) 1928). Kemudian Pemuda Katolik (PK) – 1945) di Yogyakarta. Lalu Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) – 1947 di Yogyakarta. Terakhir Ikatan Sarjana Katolik Indonesia (ISKA) 1958 di Jakarta.
Dari keempat Ormas Katolik, hanya WKRI yang kegiatannya tetap eksis karena terdengar sampai di paroki-paroki. Bahkan WKRI masih dilibatkan dalam kegiatan-kegiatan tingkat nasional, terutama yang terkait dengan masalah perempuan dan sosial. WKRI masih berperan aktif meningkatkan kualitas hidup dan kehidupan melalui pangan. WKRI juga ikut aktif menangani permasalahan trafficking, narkoba, dan perdagangan senjata. Tapi sekarang WKRI fokus pada kemiskinan dan kekerasan.
Sekarang, WKRI sudah memiliki sekitar 15. 000 anggota. Artinya, setiap ranting (berada di paroki-paroki) memiliki 25 anggota. WKRI bergabung dengan kowani yang memayungi sekitar 80-an ormas perempuan di Indonesia. Selain itu, WKRI juga menjalin kerjasama dengan organisasi lain seperti Pendidikan Kesejahteraan Keluarga (PKK). Dengan adanya sinergi tersebut, WKRI diharapkan dapat menjalankan tugas perutusannya sebagai orang Katolik di tengah-tengah masyarakat. Di tingkat internasional, WKRI menjadi anggota World Union Catholic Women’s Organisations (WUCWO).
Murnijaya, 24 Agustus 2013